Alkitab | 31 Maret 2023
Sejarah Alkitab, Bagian 2 – Terjemahan

Ini adalah postingan kedua dalam seri tiga bagian tentang sejarah Alkitab yang sangat khusus. Dari mana datangnya Alkitab? Bagaimana Alkitab ada dalam bahasa Inggris dan begitu banyak bahasa lainnya? Mengetahui sejarah dari Buku yang paling berharga ini akan meningkatkan apresiasi kita terhadap Firman Allah yang tertulis dan ketersediaannya bagi kita hari ini, dan akan memotivasi kita untuk menghargai Alkitab dan membacanya secara rutin.
Bukan masalah yang kecil bahwa kita dapat membaca Alkitab dalam bahasa yang kita mengerti. Meskipun perkataan Allah telah sepenuhnya ditransmisikan dan tercatat selama ratusan tahun, untuk waktu yang lama hampir tidak ada yang bisa membacanya.
Agar semua orang dapat menerima keselamatan dan pengetahuan yang penuh akan kebenaran, mereka harus mampu memahami keselamatan yang dinyatakan di dalam Alkitab dan memahami kebenaran yang Allah ingin mereka ketahui. Dan karena orang yang berbeda berbicara Bahasa yang berbeda, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa agar dapat diterima oleh semua orang. Tujuan penerjemahan adalah untuk menyediakan terjemahan perkataan kudus dalam bahasa setiap orang.
Dari akhir Abad Pertengahan, upaya untuk menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa yang dapat dipahami orang penuh dengan tentangan dan dilakukan dengan pengorbanan besar. Kali pertama para penerjemah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari (umum), seperti Jerman, Prancis, dan Inggris, perlawanan sengit muncul pada saat itu dari Gereja Roma Katholik. Karena banyak dari apa yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Gereja Roma Katholik tidak disebutkan dalam Alkitab atau bahkan dilarang dalam Alkitab, membiarkan orang awam mengakses Firman Tuhan yang murni akan merusak sistem kependetaan dengan semua fasilitasnya bagi mereka yang berada di jajarannya. Gereja Katholik bekerja sama secara langsung dengan penguasa dan bangsa duniawi (non-agamawi), membantai ribuan orang percaya yang tidak setuju dengan doktrin dan praktiknya. Jadi, siapa pun yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
Meskipun demikian, kesengsaraan dan penentangan seperti itu tidak menghalangi mereka yang berupaya untuk membuat perkataan Allah tersedia bagi semua orang. Kata-kata Martin Luther adalah kesaksian yang tepat tentang ketetapan hati mereka yang mempertaruhkan segalanya demi perkataan Allah: “Tubuh boleh mereka bunuh; Kebenaran Allah tetap ada.”1 Hari ini, sebagai hasil dari kerja keras dan pengorbanan mereka, kami menghargai, membaca dan mengasimilasi semua kerja keras mereka.
Sebelum abad ke-14, kecakapan membaca jarang terjadi dan sering kali terbatas pada pendeta. Tetapi dengan budaya baru Kebangunan Italia, kecakapan membaca mulai dipromosikan sebagai upaya sosial daripada keterampilan yang terbatas pada pendeta. Pada awal abad ke-15, monopoli para pendeta atas kecakapan membaca terguling secara meyakinkan. Kemampuan membaca dan menulis sangat dihargai dan dianggap sangat penting, dan semakin banyak orang yang cakap membaca. Membaca berkembang menjadi masalah pengayaan pribadi. Hasilnya, permintaan buku melonjak. Seorang cendekiawan mencatat bahwa “meningkatnya kemampuan membaca menciptakan selera yang hampir tak terpuaskan untuk bahan bacaan”, namun pasokan buku tertinggal jauh di belakang. 2
Tidak mungkin mengukur pengaruh mesin cetak terhadap umat manusia. Seorang sejarawan menceritakan, “Kini salinan buku dapat direproduksi dengan lebih cepat, lebih murah dan dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi daripada sebelumnya.”4 Yang sangat penting adalah efek pencetakan yang mendalam terhadap perjalanan Alkitab. Tanpa mesin cetak, terjemahan Alkitab tidak akan tersedia secara luas bagi orang awam. Penemuan Gutenberg membuat tujuan mereka yang bekerja keras untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari tercapai.
Berbekal hal itu, Tyndale mengabdikan hidupnya untuk menerjemahkan dengan benar dan mendistribusikan Alkitab secara luas dalam bahasa orang pada umumnya. Terlepas dari penyitaan berulang dan penghancuran karyanya dan ancaman terus-menerus terhadap hidupnya, dia tetap setia pada pelayanannya dalam menghadapi tantangan yang sangat besar, bahkan sampai kematiannya sebagai seorang martir.
Sebagai penerjemah yang menginspirasi dan produktif, William Tyndale dengan setia menerjemahkan teks Yunani asli menjadi Perjanjian Baru tercetak lengkap pertama dalam Bahasa Inggris, Perjanjian Baru Worms 1526. Dua salinan masih ada sampai sekarang.7 Dia adalah orang pertama yang menerjemahkan apa pun dari Bahasa Ibrani, bahasa yang hampir tidak dikenal di Inggris pada saat itu, ke dalam Bahasa Inggris ketika menerbitkan Kitab Pentateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) pada tahun 1530.8
Meskipun Tyndale menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja di tengah penganiayaan tanpa henti dari raja Inggris, ironisnya, Alkitab King James yang sangat dihormati, diterbitkan hanya 80 tahun setelah versinya sendiri dicetak, meminjam karya Tyndale hampir kata demi kata.9
Pengaruh William Tyndale pada Bahasa Inggris tidak terukur, bahkan sampai beberapa orang mengklaim, “Tanpa Tyndale, tidak ada Shakespreare.”10 Karya agung Tyndale menunjukkan bakatnya yang sangat mengagumkan untuk menyeimbangkan akurasi dan kejelasan, yang terakhir memberinya banyak variasi ekspresi. Kemampuan uniknya sebagai seorang penerjemah berakar dari kemampuan teknisnya dalam Bahasa Yunani, Ibrani, Latin, Jerman, dan empat bahasa lainnya yang fasih dan akurat, dan dari pemahamannya yang lengkap tentang seni retorika yang kompleks.11 Gaya puitisnya yang lugas dalam menyusun terjemahan Bahasa Inggris dapat dilihat dalam banyak frasa yang dikenal luas, seperti “jadilah terang” (Kejadian 1:3), “penjaga adikku” (Kejadian 4:9), “garam dunia” (Matius 5:13), “berikan kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11; Versi King James); “untuk ini saudaramu telah mati dan hidup kembali; dan hilang, dan ditemukan” (Lukas 15:32, Versi King James); dan “penguasa yang ada” (Roma 13:1, Versi King James).
William Tyndale lahir di Gloucestershire, Inggris, sekitar tahun 1494 (tanggal pasti kelahirannya tidak diketahui), dalam keluarga makmur dan terjalin dengan baik. Dia belajar di Universitas Oxford, memperoleh gelar sarjana seni dan gelar masternya pada tahun 1515, yang memungkinkan dia belajar teologi untuk kali pertama. Dia terkejut bahwa studi resmi ini tidak termasuk mempelajari Kitab Suci.12
Dia kemudian berkuliah di Universitas Cambridge dan dapat memperoleh kompetensinya dalam Bahasa Yunani di sana. Untuk waktu yang singkat, dia menjadi tutor di keluarga Gloucestershire, di mana di meja makan dia melibatkan pejabat gereja setempat dalam wacana yang hidup tentang pandangan yang sering bertentangan mengenai kebenaran alkitabiah. Dia bahkan dipanggil ke keuskupan atas tuduhan bidah, yang dijatuhkan. John Fox, dalam bukunya Book of Martyrs, menggambarkan suatu perdebatan di mana Tyndale mengumumkan kepada seorang pendeta bahwa dia bermaksud menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Inggris sehingga bahkan seorang petani dapat mengetahui lebih banyak tentang Kitab Suci daripada pendeta itu sendiri.13
Karena Tyndale tidak dapat menerjemahkan perkataan Allah di Inggris tanpa izin uskup, dia pergi ke London di mana dia memohon kepada Uskup London, Cuthbert Tunstall, untuk mendukung pekerjaannya. Bandingnya tidak berhasil. Sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk menerjemahkan Alkitab secara mandiri di Inggris dengan Raja Henry VIII, seorang “Pembela Iman” Katolik, di atas takhta. Maka Tyndale berlayar ke benua Eropa dan mulai menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Inggris di sana pada awal tahun 1524. Pada Agustus 1525, pekerjaan itu secara praktis telah selesai disiapkan untuk dicetak di Cologne, Jerman. Pemerintah setempat yang mengetahui perkembangannya, melarang pencetakan tersebut, menyebabkan Tyndale mengumpulkan karyanya sebelum disita dan melarikan diri ke Rhine menuju Worms. Perjanjian Baru cetakan lengkap pertama dalam Bahasa Inggris muncul pada bulan Februari 1526, dan salinannya mulai mencapai Inggris sebulan kemudian.14
Untuk kali pertama seluruh Perjanjian Baru, yang diterjemahkan dengan setia dari Bahasa Yunani asli (bukan dari versi Latin Katholik yang keliru), dapat dibaca oleh siapa saja yang bisa membaca Bahasa Inggris. Hal ini membuat khawatir otoritas Inggris, dan Uskup Tunstall sendiri mengumumkan pelarangan buku tersebut, menyebutnya sebagai “racun yang berbahaya dan merusak”.15 Dia mengumpulkan semua salinan yang bisa dia temukan untuk dibakar di depan umum dan membeli buku dalam jumlah besar di Eropa sebelum mencapai Inggris. Ironisnya, Tyndale menggunakan sebagian besar uang yang dia terima dari pesanan massal ini untuk merevisi dan mencetak versi terbaru. Meskipun otoritas gereja berusaha mencegah penyebaran Perjanjian Baru Tyndale, mereka tidak berhasil. Ada bukti bahwa di banyak tempat di Inggris, sekelompok orang berkumpul untuk membaca dan mendengar Firman.16
William Tyndale menghabiskan beberapa tahun berikutnya bekerja dengan bebas di Antwerp. Namun, pada musim semi tahun 1535 seorang pemuda Inggris berteman dengannya dan kemudian dengan licik mengkhianatinya demi uang. Tyndale diculik dan dipenjarakan di Benteng Vilvorde, tepat di utara Brussel. Dia diadili karena bidah di hadapan 17 komisaris dan memilih untuk membela diri, bukan dengan cara hukum, tetapi dari Kitab Suci. Ia menulis pembelaannya dalam sebuah buku yang berjudul Sola fides justificat apud Deum, yang berarti “Hanya iman yang membenarkan di hadapan Allah.”17
Akhirnya Tyndale dijatuhi hukuman mati, dan setelah 16 bulan dipenjara, dia “dibawa ke tempat eksekusi… diikat di tiang, dicekik oleh algojo, dan kemudian dibakar, di Kota Vilvorde, 1536; berteriak di tiang pancang dengan semangat membara, dan dengan suara nyaring, ‘Tuhan, bukalah mata raja Inggris!’”18
Tentunya Tyndale akan bersukacita mengetahui bahwa doanya didengar: dalam beberapa bulan setelah kemartirannya, sebuah Alkitab Bahasa Inggris yang lengkap, dua per tiga darinya adalah karyanya sendiri dan dilisensikan oleh Raja Henry VIII sendiri, beredar di Inggris.19
Baca bagian 3 dari sejarah Alkitab untuk mempelajari tentang interpretasi Alkitab, atau bagaimana kita mengerti Alkitab.
Semua ayat dikutip dari Alkitab Perjanjian Baru dengan catatan kaki. Anda bisa memesan salinan gratis dari Alkitab Perjanjian Baru dengan catatan kaki versi pemulihan di sini.
1 Martin Luther, “A Mighty Fortress Is Our God,” No. 886 in Hymns (Anaheim, CA: Living Stream Ministry, 1980).
2 Alister McGrath, In the Beginning: The Story of the King James Bible and How It Changed a Nation, a Language, and a Culture (New York: Anchor Books, Random House, 2002), 8, 14.
3 Ibid., 9-15.
4 Bruce Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration, 3rd enlg. ed. (New York: Oxford University Press, 1992), 95.
5 F.F. Bruce, History of the Bible in English, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 1978), 28.
6 Ibid., 28-29.
7 Ibid., 31.
8 David Daniell, The Bible in English (New Haven: Yale University Press, 2003), 147-148.
9 David Daniell, William Tyndale: A Biography (New Haven: Yale University Press, 1994), 2.
10 Daniell, The Bible in English, 158.
11 Ibid., 133.
12 Ibid., 140.
13 Bruce, History of Bible in English, 28-29.
14 Ibid., 30-31.
15 Alfred W. Pollard, Records of the English Bible: The Documents Relating to the Translation and Publication of the Bible in English, 1525-1611 (London: Oxford University Press, 1911), 109.
16 Daniell, The Bible in English, 144-146.
17 Ibid., 154-155.
18 John Fox, Fox’s Book of Martyrs, ed. William Byron Forbrush (Grand Rapids, MI: Zondervan, 1978), 184.
19 Daniell, The Bible in English, 157.
Terjemahan: Bagaimana Alkitab bertahan dan Menyebar Sepanjang Sejarah Manusia?
Pengorbanan Para Penerjemah
Bukan masalah yang kecil bahwa kita dapat membaca Alkitab dalam bahasa yang kita mengerti. Meskipun perkataan Allah telah sepenuhnya ditransmisikan dan tercatat selama ratusan tahun, untuk waktu yang lama hampir tidak ada yang bisa membacanya.
“Allah Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” — 1 Timotius 2:3b-4
Agar semua orang dapat menerima keselamatan dan pengetahuan yang penuh akan kebenaran, mereka harus mampu memahami keselamatan yang dinyatakan di dalam Alkitab dan memahami kebenaran yang Allah ingin mereka ketahui. Dan karena orang yang berbeda berbicara Bahasa yang berbeda, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa agar dapat diterima oleh semua orang. Tujuan penerjemahan adalah untuk menyediakan terjemahan perkataan kudus dalam bahasa setiap orang.
Dari akhir Abad Pertengahan, upaya untuk menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa yang dapat dipahami orang penuh dengan tentangan dan dilakukan dengan pengorbanan besar. Kali pertama para penerjemah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari (umum), seperti Jerman, Prancis, dan Inggris, perlawanan sengit muncul pada saat itu dari Gereja Roma Katholik. Karena banyak dari apa yang diajarkan dan dipraktikkan oleh Gereja Roma Katholik tidak disebutkan dalam Alkitab atau bahkan dilarang dalam Alkitab, membiarkan orang awam mengakses Firman Tuhan yang murni akan merusak sistem kependetaan dengan semua fasilitasnya bagi mereka yang berada di jajarannya. Gereja Katholik bekerja sama secara langsung dengan penguasa dan bangsa duniawi (non-agamawi), membantai ribuan orang percaya yang tidak setuju dengan doktrin dan praktiknya. Jadi, siapa pun yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
Meskipun demikian, kesengsaraan dan penentangan seperti itu tidak menghalangi mereka yang berupaya untuk membuat perkataan Allah tersedia bagi semua orang. Kata-kata Martin Luther adalah kesaksian yang tepat tentang ketetapan hati mereka yang mempertaruhkan segalanya demi perkataan Allah: “Tubuh boleh mereka bunuh; Kebenaran Allah tetap ada.”1 Hari ini, sebagai hasil dari kerja keras dan pengorbanan mereka, kami menghargai, membaca dan mengasimilasi semua kerja keras mereka.
Literasi dari Populasi Umum
Meskipun orang-orang yang setia berjerih lelah dan mempertaruhkan nyawa mereka agar Alkitab dapat tersedia bagi semua orang, kecakapan membaca pada kalangan orang pada umumnya juga perlu ditingkatkan.
Sebelum abad ke-14, kecakapan membaca jarang terjadi dan sering kali terbatas pada pendeta. Tetapi dengan budaya baru Kebangunan Italia, kecakapan membaca mulai dipromosikan sebagai upaya sosial daripada keterampilan yang terbatas pada pendeta. Pada awal abad ke-15, monopoli para pendeta atas kecakapan membaca terguling secara meyakinkan. Kemampuan membaca dan menulis sangat dihargai dan dianggap sangat penting, dan semakin banyak orang yang cakap membaca. Membaca berkembang menjadi masalah pengayaan pribadi. Hasilnya, permintaan buku melonjak. Seorang cendekiawan mencatat bahwa “meningkatnya kemampuan membaca menciptakan selera yang hampir tak terpuaskan untuk bahan bacaan”, namun pasokan buku tertinggal jauh di belakang. 2
Revolusi Publikasi Massal
Untuk menyebarkan terjemahan Alkitab bahasa sehari-hari agar dapat dibaca orang, diperlukan teknologi yang dapat menghasilkan salinan Alkitab dalam jumlah besar. Sebelum penemuan mesin cetak, produksi buku padat karya, mahal, sangat tidak efisien, dan memakan waktu. Jurutulis terlatih dengan susah payah menyalin teks dan ilustrasi dengan tangan. Karena peningkatan literasi dan permintaan buku yang tinggi, pengusaha mulai mencari cara untuk meningkatkan proses pembuatan buku dan mengurangi biaya. Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang membuat terobosan dengan teknologi baru: huruf logam yang dapat dipindahkan. Setelah menyelesaikan penemuan monumentalnya, mesin cetak modern pertama, Gutenberg mulai mencetak buku—Buku (The Book). Pada tahun 1456, Gutenberg menghasilkan Alkitab pertama yang dicetak dengan huruf yang dapat dipindahkan.3
Tidak mungkin mengukur pengaruh mesin cetak terhadap umat manusia. Seorang sejarawan menceritakan, “Kini salinan buku dapat direproduksi dengan lebih cepat, lebih murah dan dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi daripada sebelumnya.”4 Yang sangat penting adalah efek pencetakan yang mendalam terhadap perjalanan Alkitab. Tanpa mesin cetak, terjemahan Alkitab tidak akan tersedia secara luas bagi orang awam. Penemuan Gutenberg membuat tujuan mereka yang bekerja keras untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa sehari-hari tercapai.
Sorotan Terjemahan: William Tyndale
William Tyndale, yang kepadanya kami berutang cetakan pertama Alkitab bahasa Inggris,5 sangat dipakai oleh Tuhan untuk membuat Firman-Nya dapat diakses dan dipahami oleh orang biasa. Selama berabad-abad, pemerintah dan entitas agama sangat membatasi akses orang awam kepada Alkitab dengan membatasinya pada bahasa yang membutuhkan studi ilmiah. Tyndale didorong oleh keyakinan bahwa “akar penyebab dari banyak kebingungan dalam pikiran orang [dalam masalah Alkitab] adalah ketidaktahuan akan Kitab Suci. Jika ketidaktahuan ini dapat diperbaiki, mata semua orang akan terbuka dan kebenaran akan diketahui dengan jelas.”6
Berbekal hal itu, Tyndale mengabdikan hidupnya untuk menerjemahkan dengan benar dan mendistribusikan Alkitab secara luas dalam bahasa orang pada umumnya. Terlepas dari penyitaan berulang dan penghancuran karyanya dan ancaman terus-menerus terhadap hidupnya, dia tetap setia pada pelayanannya dalam menghadapi tantangan yang sangat besar, bahkan sampai kematiannya sebagai seorang martir.
Sebagai penerjemah yang menginspirasi dan produktif, William Tyndale dengan setia menerjemahkan teks Yunani asli menjadi Perjanjian Baru tercetak lengkap pertama dalam Bahasa Inggris, Perjanjian Baru Worms 1526. Dua salinan masih ada sampai sekarang.7 Dia adalah orang pertama yang menerjemahkan apa pun dari Bahasa Ibrani, bahasa yang hampir tidak dikenal di Inggris pada saat itu, ke dalam Bahasa Inggris ketika menerbitkan Kitab Pentateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) pada tahun 1530.8
Meskipun Tyndale menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja di tengah penganiayaan tanpa henti dari raja Inggris, ironisnya, Alkitab King James yang sangat dihormati, diterbitkan hanya 80 tahun setelah versinya sendiri dicetak, meminjam karya Tyndale hampir kata demi kata.9
Pengaruh William Tyndale pada Bahasa Inggris tidak terukur, bahkan sampai beberapa orang mengklaim, “Tanpa Tyndale, tidak ada Shakespreare.”10 Karya agung Tyndale menunjukkan bakatnya yang sangat mengagumkan untuk menyeimbangkan akurasi dan kejelasan, yang terakhir memberinya banyak variasi ekspresi. Kemampuan uniknya sebagai seorang penerjemah berakar dari kemampuan teknisnya dalam Bahasa Yunani, Ibrani, Latin, Jerman, dan empat bahasa lainnya yang fasih dan akurat, dan dari pemahamannya yang lengkap tentang seni retorika yang kompleks.11 Gaya puitisnya yang lugas dalam menyusun terjemahan Bahasa Inggris dapat dilihat dalam banyak frasa yang dikenal luas, seperti “jadilah terang” (Kejadian 1:3), “penjaga adikku” (Kejadian 4:9), “garam dunia” (Matius 5:13), “berikan kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Matius 6:11; Versi King James); “untuk ini saudaramu telah mati dan hidup kembali; dan hilang, dan ditemukan” (Lukas 15:32, Versi King James); dan “penguasa yang ada” (Roma 13:1, Versi King James).
William Tyndale lahir di Gloucestershire, Inggris, sekitar tahun 1494 (tanggal pasti kelahirannya tidak diketahui), dalam keluarga makmur dan terjalin dengan baik. Dia belajar di Universitas Oxford, memperoleh gelar sarjana seni dan gelar masternya pada tahun 1515, yang memungkinkan dia belajar teologi untuk kali pertama. Dia terkejut bahwa studi resmi ini tidak termasuk mempelajari Kitab Suci.12
Dia kemudian berkuliah di Universitas Cambridge dan dapat memperoleh kompetensinya dalam Bahasa Yunani di sana. Untuk waktu yang singkat, dia menjadi tutor di keluarga Gloucestershire, di mana di meja makan dia melibatkan pejabat gereja setempat dalam wacana yang hidup tentang pandangan yang sering bertentangan mengenai kebenaran alkitabiah. Dia bahkan dipanggil ke keuskupan atas tuduhan bidah, yang dijatuhkan. John Fox, dalam bukunya Book of Martyrs, menggambarkan suatu perdebatan di mana Tyndale mengumumkan kepada seorang pendeta bahwa dia bermaksud menerjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Inggris sehingga bahkan seorang petani dapat mengetahui lebih banyak tentang Kitab Suci daripada pendeta itu sendiri.13
Karena Tyndale tidak dapat menerjemahkan perkataan Allah di Inggris tanpa izin uskup, dia pergi ke London di mana dia memohon kepada Uskup London, Cuthbert Tunstall, untuk mendukung pekerjaannya. Bandingnya tidak berhasil. Sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk menerjemahkan Alkitab secara mandiri di Inggris dengan Raja Henry VIII, seorang “Pembela Iman” Katolik, di atas takhta. Maka Tyndale berlayar ke benua Eropa dan mulai menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Inggris di sana pada awal tahun 1524. Pada Agustus 1525, pekerjaan itu secara praktis telah selesai disiapkan untuk dicetak di Cologne, Jerman. Pemerintah setempat yang mengetahui perkembangannya, melarang pencetakan tersebut, menyebabkan Tyndale mengumpulkan karyanya sebelum disita dan melarikan diri ke Rhine menuju Worms. Perjanjian Baru cetakan lengkap pertama dalam Bahasa Inggris muncul pada bulan Februari 1526, dan salinannya mulai mencapai Inggris sebulan kemudian.14
Untuk kali pertama seluruh Perjanjian Baru, yang diterjemahkan dengan setia dari Bahasa Yunani asli (bukan dari versi Latin Katholik yang keliru), dapat dibaca oleh siapa saja yang bisa membaca Bahasa Inggris. Hal ini membuat khawatir otoritas Inggris, dan Uskup Tunstall sendiri mengumumkan pelarangan buku tersebut, menyebutnya sebagai “racun yang berbahaya dan merusak”.15 Dia mengumpulkan semua salinan yang bisa dia temukan untuk dibakar di depan umum dan membeli buku dalam jumlah besar di Eropa sebelum mencapai Inggris. Ironisnya, Tyndale menggunakan sebagian besar uang yang dia terima dari pesanan massal ini untuk merevisi dan mencetak versi terbaru. Meskipun otoritas gereja berusaha mencegah penyebaran Perjanjian Baru Tyndale, mereka tidak berhasil. Ada bukti bahwa di banyak tempat di Inggris, sekelompok orang berkumpul untuk membaca dan mendengar Firman.16
William Tyndale menghabiskan beberapa tahun berikutnya bekerja dengan bebas di Antwerp. Namun, pada musim semi tahun 1535 seorang pemuda Inggris berteman dengannya dan kemudian dengan licik mengkhianatinya demi uang. Tyndale diculik dan dipenjarakan di Benteng Vilvorde, tepat di utara Brussel. Dia diadili karena bidah di hadapan 17 komisaris dan memilih untuk membela diri, bukan dengan cara hukum, tetapi dari Kitab Suci. Ia menulis pembelaannya dalam sebuah buku yang berjudul Sola fides justificat apud Deum, yang berarti “Hanya iman yang membenarkan di hadapan Allah.”17
Akhirnya Tyndale dijatuhi hukuman mati, dan setelah 16 bulan dipenjara, dia “dibawa ke tempat eksekusi… diikat di tiang, dicekik oleh algojo, dan kemudian dibakar, di Kota Vilvorde, 1536; berteriak di tiang pancang dengan semangat membara, dan dengan suara nyaring, ‘Tuhan, bukalah mata raja Inggris!’”18
Tentunya Tyndale akan bersukacita mengetahui bahwa doanya didengar: dalam beberapa bulan setelah kemartirannya, sebuah Alkitab Bahasa Inggris yang lengkap, dua per tiga darinya adalah karyanya sendiri dan dilisensikan oleh Raja Henry VIII sendiri, beredar di Inggris.19
Baca bagian 3 dari sejarah Alkitab untuk mempelajari tentang interpretasi Alkitab, atau bagaimana kita mengerti Alkitab.
Semua ayat dikutip dari Alkitab Perjanjian Baru dengan catatan kaki. Anda bisa memesan salinan gratis dari Alkitab Perjanjian Baru dengan catatan kaki versi pemulihan di sini.
1 Martin Luther, “A Mighty Fortress Is Our God,” No. 886 in Hymns (Anaheim, CA: Living Stream Ministry, 1980).
2 Alister McGrath, In the Beginning: The Story of the King James Bible and How It Changed a Nation, a Language, and a Culture (New York: Anchor Books, Random House, 2002), 8, 14.
3 Ibid., 9-15.
4 Bruce Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration, 3rd enlg. ed. (New York: Oxford University Press, 1992), 95.
5 F.F. Bruce, History of the Bible in English, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 1978), 28.
6 Ibid., 28-29.
7 Ibid., 31.
8 David Daniell, The Bible in English (New Haven: Yale University Press, 2003), 147-148.
9 David Daniell, William Tyndale: A Biography (New Haven: Yale University Press, 1994), 2.
10 Daniell, The Bible in English, 158.
11 Ibid., 133.
12 Ibid., 140.
13 Bruce, History of Bible in English, 28-29.
14 Ibid., 30-31.
15 Alfred W. Pollard, Records of the English Bible: The Documents Relating to the Translation and Publication of the Bible in English, 1525-1611 (London: Oxford University Press, 1911), 109.
16 Daniell, The Bible in English, 144-146.
17 Ibid., 154-155.
18 John Fox, Fox’s Book of Martyrs, ed. William Byron Forbrush (Grand Rapids, MI: Zondervan, 1978), 184.
19 Daniell, The Bible in English, 157.
Post Views: 332