Alkitab | 17 Maret 2023
Sejarah Alkitab
        
Alkitab adalah kitab paling agung dalam alam semesta. Lebih dari sekadar sebuah kitab kristiani yang berisi ajaran moral dan berbagai kisah, Alkitab adalah pembicaraan Allah kepada manusia. Tetapi bagaimana firman Allah kita, yang dicatat pada waktu lampau menjangkau kita dalam bentuk tulisan? Alkitab telah melalui sebuah perjalanan yang menakjubkan—dari mulut Allah hingga ke tangan kita. Untuk memahami keagungan dan kemustikaan perjalanan Alkitab ini, kita akan melihat tiga langkah utama yang melaluinya Alkitab telah menjangkau kita:

  1. Transmisi
  2. Penerjemahan
  3. Penafsiran


Melalui langkah pertama, transmisi, Allah mengomunikasikan Firman-Nya kepada manusia melalui berbicara kepada manusia; ini telah dicatat dan disimpan dalam bentuk tulisan.

Melalui langkah kedua, Alkitab telah dibuat tersedia kepada semua manusia dalam berbagai bahasa yang secara umum dapat dipahami orang. Ribuan orang telah dengan rela mengambil risiko dan bahkan menyerahkan nyawa mereka untuk menerjemahkan Firman dari Bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin sehingga semua dapat membacanya.

Akhirnya, melalui langkah penafsiran, sebagai puncak dari kedua langkah pertama, Allah memakai hamba-hamba-Nya yang setia untuk mengekstraksi berbagai kebenaran yang kaya dan tersembunyi dari Alkitab melalui penafsiran yang tepat.

Ketiga langkah perjalanan menakjubkan Alkitab ini telah menghasilkan Alkitab yang ditransmisikan, secara tepat diterjemahkan, dan secara tepat ditafsirkan. Hari ini Alkitab telah terbuka dan sudah jauh lebih dapat dijangkau dibandingkan dulu.

Transmisi: Dari Mana Alkitab datang?
Allah kita adalah Allah yang berbicara (Ibrani 1:1-2). Ia telah memberi kita sebuah mustika yang agung—pembicaraan-Nya—yang dicatat dalam bentuk fisik sebagai Alkitab. Melalui berbicara, Allah telah menyatakan diri-Nya, dengan demikian mewahyukan diri-Nya dan tujuan-Nya kepada manusia. Manusia mencatat apa yang telah Allah bicarakan, menjaga pembicaraan Allah bagi seluruh umat manusia. Transmisi Alkitab adalah proses yang melaluinya manusia telah mendapatkan, menjaga, dan meneruskan kepada yang lain pembicaraan Allah dalam waktu.

Dari Allah
Untuk memahami lebih lanjut transmisi Alkitab, kita perlu memeriksa sumber dan esens Alkitab, dan sarana yang melaluinya Allah menyampaikan pembicaraan-Nya kepada kita.

Sumber: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah” (Seluruh Alkitab adalah embusan Allah, TL)—2 Timotius 3:16a

Alkitab sebagai embusan Allah sendiri membuktikan bahwa Allah sendiri adalah sumber Alkitab.

Esens: “Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup”—Yohanes 6:63

Esens, penyusun, dari Alkitab juga adalah Allah sebagai Roh itu. Allah itu Roh, oleh sebab itu, Firman adalah perwujudan Allah sebagai Roh Itu; ketika Anda menjamah Firman, Anda menjamah Allah sebagai Roh Itu.

Sarana penyampaian: embusan Allah bukan hanya sumber Alkitab, melainkan juga sarana yang dengannya Allah menyampaikan firman-Nya kepada manusia.

Sebagai sebuah kitab, Alkitab itu unik; sumbernya, esensnya, dan sarana penyampaiannya kepada manusia memisahkannya dari semua karya yang telah ditulis para pujangga.

Kepada Manusia
“Oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.”—2 Petrus 1:21

Allah menggunakan orang-orang tertentu untuk mencatat apa yang telah Ia sampaikan kepada mereka. Walaupun manusia yang mencatat firman Alkitab secara fisik, sumbernya bukanlah tekad, hasrat, keinginan, pemikiran, dan penjabaran manusia. Sumber Alkitab adalah Allah, yang melalui Roh Kudus, mendorong manusia untuk membicarakan kehendak, hasrat, dan kedambaan Allah. Oleh karena itu, sumber Alkitab adalah Allah dan manusia adalah sarana yang melaluinya Allah mencatat dan menjaga firman-Nya. Umat manusia juga dimaksudkan sebagai penerima Firman Allah.

Bahasa Alkitab
Allah “menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim. 2:4), sehingga Alkitab telah ditulis dalam berbagai bahasa yang dipahami dan diucapkan oleh manusia. Alkitab adalah satu kitab. Namun, karena hiruk-pikuk sejarah bangsa Yahudi, umat yang dipercaya Allah mencatat Alkitab, Alkitab ditulis dalam tiga bahasa—Ibrani, Aram, dan Yunani.

Ibrani

Ibrani adalah bahasa asli umat pilihan Allah, Israel. Allah membuat orang Ibrani pertama, Abraham, meninggalkan Babel dan bahasa Babel, dan tinggal di Tanah Kanaan di mana ia mengambil sebuah bahasa yang baru, bahasa Kanaan, yang pada akhirnya dikembangkan menjadi bahasa Ibrani.

Aram

Selama waktu tertentu Perjanjian Lama ditulis, bangsa Israel jatuh dalam penawanan di tanah orang-orang yang berbahasa Aram. Oleh karena itu, sebagian kecil Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Aram. Pada masa Tuhan Yesus, bangsa Yahudi berbicara dalam bahasa Aram di antara mereka, dan sebagian kecil kata-kata bahasa Aram dicatat dalam Alkitab.

Yunani

Sebagian besar Perjanjian Baru, yang dicatat selama Kekaisaran Romawi, ditulis dalam bahasa Yunani, sebuah bahasa yang kaya, ringkas, dan ekspresif. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Yunani bukan hanya terbaik untuk mencatat dan menyampaikan kekayaan Alkitab, melainkan juga lingua franca (bahasa umum) Kekaisaran Romawi, yang pada saat itu mencakup sebagian besar dunia. Karena Perjanjian Baru dicatat dalam bahasa Yunani, pewahyuan yang terkandung dalam Alkitab tersebar dengan luas melampaui daerah Laut Tengah. Alkitab yang dicatat dan terjaga dalam berbagai bahasa manusia ini menunjukkan bahwa apa yang Allah sampaikan dalam Alkitab ditujukan bagi pemahaman dan sukacita umat manusia.

Media
Selama waktu Alkitab ditulis, bahan penulisannya mahal dan sulit didapatkan. Secara umum, bahan untuk mencatat dan menggandakan Alkitab adalah yang paling awet, efisien dalam biaya, dan paling mudah dijangkau. Pada masa kuno, media yang memenuhi syarat-syarat ini berkembang dari batu pada bongkahan tanah liat, papirus, kulit, perkamen, dan pada akhirnya, kertas.

Jika Alkitab tidak dicatat di atas media yang sesuai yang dapat terjaga dan disebarkan dengan cukup mudah, wahyu dari Persona dan tujuan Allah hanya akan tersedia dan menguntungkan bagi orang-orang yang dapat menjangkau fiman-Nya. Bagaimanapun juga, karena Allah damba semua menjangkau firman-Nya, Alkitab dicatat pada bahan yang paling cocok dan awet. Hari ini, wahyu yang terkandung dalam Alkitab dapat dijangkau oleh semua orang.

Kanon Alkitab
Kanon Alkitab adalah pengakuan manusia akan apa yang ditulis dan dicatat oleh orang-orang yang didorong Allah yang adalah pembicaraan Allah sendiri.

Kata “kanon” memiliki dua pengertian dasar yang berhubungan dengan Alkitab: (1) daftar berbagai kitab yang diterima sebagai Alkitab, dan (2) sebuah peraturan atau standar. Alkitab adalah peraturan atau standar yang dengannya semua kepercayaan dan praktik kristiani diukur.

Sangatlah penting untuk memahami bahwa biarpun manusia dapat mengakui Alkitab sebagai pembicaraan Allah atau tidak, Alkitab, pada faktanya, adalah pembicaraan Allah. Alkitab tidak memerlukan atau diuntungkan melalui pengakuan manusia.

Secara historis, bagaimanapun juga, dari sudut pandang manusia, bagian akhir dari transmisi Alkitab adalah pengakuan manusia bahwa Alkitab adalah firman Allah. Kanon Alkitab diuji keotentikannya sebagai firman Allah oleh waktu. Seorang penulis menjelaskan proses kanonisasi dengan mengatakan:

“Tidak perlu mengatakan itu pohon apa. Pohon hanya perlu bertumbuh secara bertahap, berbunga, dan berbuah; dengan spontan manusia akan mengakui itu pohon apa. Demikian juga, apakah Alkitab berasal dari Allah atau tidak paling baik diuji oleh waktu. Nilai dan otoritas Alkitab dengan spontan menyatakan dirinya.”

Penerjemahan: Bagaimana Alkitab Bertahan dan Disebarkan melalui Semua Sejarah Manusia?
Pengorbanan Para Penerjemah

Bukanlah hal yang kecil bahwa hari ini kita dapat membaca Alkitab dalam bahasa yang dapat kita pahami. Biarpun firman Allah telah ditransmisikan dan dicatat sepenuhnya selama ratusan tahun, selama suatu periode tertentu, tidak ada yang dapat membacanya.

“Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.”—1 Timotius 2:3b-4

Agar semua orang dapat menerima keselamatan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran, mereka harus bisa memahami Alkitab yang terwahyu dan memahami kebenaran yang Allah damba kita peroleh. Dan karena bangsa yang berbeda mengucapkan bahasa yang berbeda, Alkitab perlu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa agar dapat dijangkau semua. Tujuan penerjemahan adalah untuk menyajikan Alkitab yang telah diterjemahkan kepada semua orang.

Sejak akhir abad pertengahan, tekad untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa yang dapat orang pahami dihadapkan dengan tentangan dan melalui banyak pengorbanan. Kali pertama para penerjemah mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa umum, seperti bahasa Jerman, Perancis, dan Inggris, penolakan yang keras terjadi. Karena banyak pengajaran dan praktik saat itu ternyata tidak disebutkan atau bahkan dilarang dalam Alkitab, mengizinkan masyarakat umum menjangkau firman Allah yang murni akan merusak sistem paderi dengan semua keuntungan bagi mereka yang menjabat kedudukan. Aliran yang berkuasa saat itu dengan berbagai negara dan satuan sekuler telah mengorbankan ribuan orang beriman yang tidak setuju dengan doktrin dan praktik tersebut. Oleh karena itu, siapa pun yang menerjemahkan Alkitab ke dalam berbagai bahasa umum saat itu terancam nyawanya.

Bagaimanapun juga, permusuhan dan penentangan yang demikian tidak menyurutkan mereka yang damba membuat firman Allah tersedia bagi semua. Perkataan Martin Luther adalah kesaksian yang tepat bagi mereka yang mempertaruhkan segala mereka bagi firman Allah: “Mereka dapat membunuh tubuh; kebenaran Allah tetap tinggal.” Hari ini, sebagai pewaris jerih lelah dan pengorbanan mereka, kita betul-betul memustikakan, membaca, dan menyerap buah dari jerih lelah mereka.

Literasi bagi Semua Orang
Bagaimanapun orang-orang yang setia berjerih lelah dan mempertaruhkan jiwa mereka agar Alkitab dapat tersedia bagi semua, ini adalah literasi bagi semua orang.

Sebelum abad keempat belas, orang-orang yang melek huruf langka dan sering terbatas pada kaum paderi. Tetapi dengan budaya baru Pencerahan Italia, literasi mulai dipromosikan dengan sebuah kemajuan sosial daripada sebuah keterampilan kaum paderi. Pada awal abad kelima belas, monopoli dari kaum paderi akan literasi dengan tegas digulingkan. Kemampuan membaca dan menulis dihargai dan dianggap sangat penting, dan lebih banyak orang lagi menjadi melek huruf. Membaca telah berkembang menjadi pengayaan pribadi. Sebagai hasilnya, permintaan buku meningkat drastis. Seorang sarjana mencatat “meningkatnya literasi telah menciptakan kebutuhan yang hampir tidak terpuaskan akan bahan bacaan,” di tengah persediaan buku yang jauh tertinggal.

Revolusi Publikasi Masal
Untuk menyebarkan terjemahan Alkitab dalam bahasa umum agar orang-orang dapat membacanya, sebuah teknologi yang dapat memproduksi salinan Alkitab dalam jumlah besar diperlukan. Sebelum mesin cetak ditemukan, produksi buku adalah hasil kerja buruh yang intensif, mahal, sangat tidak efisien, dan memakan waktu. Ahli kitab dengan menderita menyalin teks dan ilustrasi dengan tulisan tangan. Karena meningkatnya literasi dan menjawab permintaan buku yang tinggi, para pengusaha mulai mencari sebuah jalan untuk meningkatkan proses pembuatan buku dan mengurangi biaya. Johannes Gutenberg adalah orang pertama yang mencapai terobosan dengan sebuah teknologi baru: jenis logam yang dapat dipindahkan. Setelah merampungkan penemuan pentingnya, mesin cetak modern pertama, Gutenberg melanjutkan untuk mencetak sebuah buku—Alkitab. Pada 1456, Gutenberg memproduksi Alkitab pertama yang dicetak oleh mesin yang dapat dipindahkan.

Sangat mustahil untuk menghitung dengan angka dampak mesin cetak bagi umat manusia. Seorang pakar sejarah mengatakan, “Sekarang salinan buku dapat diproduksi dengan lebih cepat, lebih murah, dan dengan ketepatan yang lebih tinggi dari semua pendahulunya.” Dampak penting yang khusus adalah pada perjalanan Alkitab. Tanpa mesin cetak, Alkitab yang telah diterjemahkan tidak akan dengan luasnya menjangkau manusia. Penemuan Gutenberg telah membuat tujuan mereka yang berjerih lelah untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa umum tercapai.

Menyoroti Penerjemahan: William Tyndale
Kita berhutang pada penerjemah pertama Alkitab bahasa Inggris yang dicetak, William Tyndale, yang dengan besar-besaran dipakai Tuhan untuk membuat firman-Nya dapat dijangkau dan dipahami orang biasa. Selama berabad-abad, pemerintah dan lembaga rohani membatasi jangkauan kaum awam akan Alkitab dengan mengurung Alkitab hanya dalam berbagai bahasa yang membutuhkan pendidikan tinggi. Tyndale didorong dengan kepercayaan bahwa “sebab mendasar banyak kebingungan dalam pikiran orang mengenai Alkitab adalah karena ketidaktahuan akan Alkitab. Jika ketidaktahuan ini dapat dibetulkan, mata orang akan terbuka dan kebenaran akan diketahui dengan jelas.”

Dipersenjatai dengan keteguhan sedemikian, Tyndale mendedikasikan hidupnya untuk dengan tepat menerjemahkan dan menyebarkan dengan luas Alkitab dalam bahasa manusia pada umumnya. Di tengah perampasan yang berulang dan penghancuran karyanya dan ancaman terus-menerus akan nyawanya, ia tetap setia dalam pelayanannya di tengah penentangan yang besar, bahkan sampai mati martirnya.

William Tyndale, yang menerjemahkan dengan penuh inspirasi dan produktif, dengan setia membuat teks asli bahasa Yunani ke dalam Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggris yang pertama dicetak, Perjanjian Baru Worms 1526. Dua salinannya masih ada hingga hari ini. Dialah yang pertama menerjemahkan apa pun dari bahasa Ibrani, sebuah bahasa yang tidak dikenal di Inggris pada saat itu, ke dalam bahasa Inggris ketika ia menerjemahkan kitab-kitab Pentateuch (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan) pada 1530.

Biarpun Tyndale menghabiskan banyak dari hidupnya berjerih lelah di tengah penyiksaan yang tidak habis-habisnya dari Raja Inggris, terjemahan Alkitab King James yang diagung-agungkan, diterbitkan 80 tahun setelah versinya dicetak, meminjam karya Tyndale hampir kata demi kata.

Dampak William Tyndale pada bahasa Inggris tidak dapat diukur, bahkan seseorang berkata, “Tanpa Tyndale, tidak ada Shakespeare.” Karya Tyndale yang luar biasa menampilkan bakatnya yang mengagumkan yang menyeimbangkan ketepatan dan kejelasan, sangat jelas dalam memberikan berbagai ragam ungkapan. Kemampuan uniknya sebagai seorang penerjemah berakar dari kemampuan teknisnya yang lancar dan akurat dalam bahasa Yunani, Ibrani, Latin, Jerman, dan empat bahasa lainnya, dan dari pemahaman yang penuh akan seni retorika yang rumit. Gaya puisinya yang tanpa hiasan dalam merangkai bahasa Inggris dapat dilihat dalam banyak frasa yang dapat dikenal, seperti “let there be light” (“jadilah terang”, LAI) (Kej. 1:3); “my brother’s keeper” (“penjaga adikku”, LAI) (Kej. 4:9); “the salt of the earth” (“garam dunia”, LAI) (Mat. 5:13); “give us this day our daily bread” (“Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”, LAI) (Mat. 6:11; King James Version); “for this thy brother was dead, and is alive again; and was lost, and is found” (“karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”, LAI) (Lukas 15:32, King James Version); dan “the powers that be” (“pemerintah-pemerintah yang ada”, LAI) (Rm. 13:1, King James Version).

William Tyndale dilahirkan di Gloucestershire, Inggris, sekitar 1494 (hari lahir pastinya tidak diketahui), di dalam sebuah keluarga yang kaya dan berkoneksi luas. Ia belajar di Universitas Oxford, mendapat gelar sarjananya pada 1512 dan gelar master pada 1515, yang memberinya jangkauan untuk belajar teologia kali pertama. Ia terkejut bahwa pelajaran resmi ini tidak mencakup mempelajari Alkitab.

Ia kemudian melanjutkan studi di Universitas Cambridge dan telah mendapatkan kompetensi bahasa Yunani di sana. Selama periode waktu yang singkat, ia adalah seorang tutor bagi keluarga Gloucestershire, di mana di meja makan ia berbincang dengan pejabat gereja dalam percakapan yang hidup mengenai pandangan yang berlawanan akan kebenaran-kebenaran Alkitab. Ia sering dipanggil di hadapan keuskupan dengan tuduhan ajaran sesat, yang akhirnya dicabut. John Fox, dalam bukunya, Book of Martyrs, menjelaskan satu debat yang di dalam debat itu Tyndale mengumumkan kepada kaum paderi bahwa dia bermaksud untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris sehingga bahkan seorang petani dapat lebih mengenal Alkitab daripada kaum paderi.

Karena Tyndale tidak dapat menerjemahkan firman Allah di Inggris tanpa izin keuskupan, ia pergi ke London di mana ia mengajukan izin kepada Uskup London, Cuthbert Tunstall, untuk mendukung karyanya. Pengajuan ini tidak berhasil. Sangatlah sulit, bahkan mustahil, untuk menerjemahkan secara mandiri di Inggris dengan Raja Henry VIII yang disebut “Defender of the the Faith” pada takhtanya dalam agama yang berkuasa saat itu. Jadi, Tyndale berlayar ke benua Eropa dan mulai menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris pada 1524. Pada Agustus 1525, karyanya sudah selesai dan siap dicetak di Cologne, Jerman. Pemerintah lokal, yang waspada akan kemajuan tersebut, melarang percetakan, mendorong Tyndale menyelamatkan karyanya sebelum diringkus pemerintah dan melarikan diri dari Rhine ke Worms. Alkitab Perjanjian Baru pertama yang dicetak dalam bahasa Inggris terbit pada 1526, dan salinannya mulai menjangkau Inggris sebulan kemudian.

Untuk kali pertama, seluruh Alkitab Perjanjian Baru, yang dengan setia diterjemahkan dari bahasa Yunani asli (bukan dari bahasa Latin yang juga adalah terjemahan), dapat dibaca oleh siapa pun juga yang dapat membaca bahasa Inggris. Ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah Inggris, dan Uskup Tunstall sendiri melarang kitab tersebut, menyebutnya “racun dan sangat merusak.” Ia mengumpulkan semua salinan yang dapat ditemukan dan membakarnya di hadapan umum dan membeli sejumlah besar di Eropa sebelum mencapai Inggris. Ironisnya, Tyndale menggunakan banyak uang yang telah diperoleh dari pesanan yang besar itu untuk merevisi dan mencetak versi terbaru. Biarpun pemerintah dan Gereja mencoba untuk mencegah penyebaran Alkitab Perjanjian Baru Tyndale, mereka tidak berhasil. Ada bukti bahwa di banyak tempat di Inggris, berbagai kelompok bersidang untuk membaca dan mendengar firman.

William Tyndale menghabiskan beberapa tahun berikutnya bekerja bebas di Antwerp. Sayangnya, di tahun 1535, seorang Inggris muda berteman dengannya dan dengan licik mengkhianati Tyndale karena uang. Tyndale disekap dan dipenjara di benteng Vilvorde, sebelah utara Brussels. Ia didakwa karena ajaran sesat di hadapan 17 dewan dan memilih untuk membela diri, bukan melalui pergerakan hukum, namun dari Alkitab. Ia menulis pembelaannya dalam sebuah buku yang berjudul Sola fides justificiat apud Deum, yang berarti “Hanya iman yang membenarkan (manusia) di hadapan Allah.”

Pada akhirnya, Tyndale dihukum mati, dan setelah 16 bulan dipenjara, ia “dibawa ke tempat eksekusi…diikat pada pasak, dicekik oleh penggantung, dan setelahnya dibakar dengan api, di Kota Vilvorde, tahun 1536; berteriak dengan semangat yang membara di pasak tersebut, ‘Tuhan, bukalah mata raja Inggris!’”

Pastinya Tyndale akan bersukacita mengetahui bahwa doanya telah didengar: berbulan-bulan setelah mati martirnya, sebuah Alkitab bahasa Inggris yang lengkap, yang dua per tiganya adalah karya Tyndale dan yang telah berlisensi dari Raja Henry VIII, menyebar di Inggris.

Penafsiran: Membuka Makna Alkitab secara Penuh
Di tahap transmisi, embusan Allah, berasal dari realitasnya yang tidak berwujud, diterima dan dicatat sebagai teks tertulis, dapat dibaca, dan dapat dimengerti oleh umat manusia. Tahap selanjutnya, penerjemahan Alkitab, melibatkan proses membebaskan tulisan dari belenggu bahasa kunonya dan menyampaikannya ke dalam berbagai bahasa modern.

Penelitian untuk menerima dan membebaskan Alkitab adalah pemahaman akan makna yang dimaksudkan dari berbagai isi Alkitab. Tidaklah cukup untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa kita; bagi kita, untuk mendalami suatu teks, kita perlu penafsiran yang tepat jadi kita dapat memahami apa yang sedang kita baca.

Firman Allah adalah makanan kita (Mat. 4:4), namun agar firman merawat kita, kita perlu firman dibukakan kepada kita, membawakan makna yang tepat bagi pemahaman kita. Oleh karena itu, pemazmur bukan hanya gemar akan firman Tuhan (Mzm. 119:16), melainkan juga “bila tersingkap, firman-firman-Mu memberi terang, memberi pengertian kepada orang-orang bodoh” (ayat 130). Penafsiran rohani yang tepat membukakan firman, sehingga kita dapat memahami maknanya yang tepat.

Hermeneutika
Hermeneutika, studi mengenai prinsip-prinsip metodologi interpretasi, secara historis melibatkan perhatian yang akurat akan tata bahasa dan logika, begitu juga dengan konteks psikis dan sejarah dari Alkitab. Tujuan hermeneutika adalah untuk mengembangkan sebuah kunci penafsiran, sebuah prinsip yang mengatur yang berdiri secara terpisah dari bagian-bagian individual, untuk menyajikan pesan sentral Alkitab.

Sangat perlu untuk menafsirkan Alkitab yang dipandu oleh sebuah kunci hermeneutika, khususnya dalam menyampaikan bagian yang sulit, mengatasi perbedaan yang tampak, dan mengumpulkan pesan sentral Alkitab yang dikembangkan dari berbagai bagian. Sepanjang sejarah, para penafsir Alkitab telah mengembangkan berbagai kunci hermeneutika, menjamah berbagai aspek hubungan dan aktivitas Allah yang berhubungan dengan manusia. Hermeneutika yang tertinggi dan terbaik pada akhirnya seharusnya mewahyukan bukan hanya apa yang Allah lakukan, melainkan juga siapa Allah berdasarkan pribadi-Nya secara intrinsik.

Berbagai Alat Penafsiran
Sebuah kekurangan utama dari teks tulisan adalah ketidakmampuannya untuk menyampaikan nada atau perasaan dialog sepenuh dan sejelas yang seorang pembicara dapat lakukan. Untuk itulah, dalam Perjanjian Lama ketika Alkitab dibacakan dengan lantang, pembacaan itu disertai dengan “penafsiran dan penyampaian arti Alkitab” sehingga “pembacaan dimengerti” (Neh. 8:8).

Penerjemahan tertulis dengan sendirinya berada dalam sebuah pengertian yang secara mendasar juga adalah bentuk penafsiran; tetapi, dengan ini saja, kita seolah-olah diberikan sebuah tulisan diskusi tanpa sebuah perasaan, makna tata bahasa, kecepatan, volume suara, bahkan bahasa tubuh dan gerakan yang jelas dari nada pembicara. Berbagai studi komunikasi mengatakan 90 persen penangkapan dan pemahaman adalah dari unsur paraverbal dan nonverbal suatu pembicaraan. Oleh karena itu, kita dapat mulai memahami keperluan bukan hanya akan sebuah penerjemahan yang akurat tetapi juga sebuah penafsiran tepat yang menyertainya untuk secara penuh menyampaikan pengertian suatu bagian tulisan Alkitab.

Studi hermeneutika Alkitab bukanlah sebuah proses penafsiran sepintas, tetapi pendirian “peraturan yang solid dan rumit untuk menemukan dan mengungkapkan pengertian yang benar dari para penulis yang telah menerima dorongan [Roh Kudus].” Selagi kita melihat bahwa meresmikan dan menetapkan standar sebuah dasar bagi penafsiran tidak dapat menghapuskan perbedaan di antara banyak penafsir, hal-hal tersebut dapat mengungkap bagian penafsiran yang tidak logis, tidak relevan, dan malahan yang tidak tepat. Sebuah rangkaian pemikiran secara eksternal untuk menilai bagian Alkitab dalam sebuah karya serumit dan sekaya Alkitab, yang memuat karya tulis lebih dari 40 penulis dalam berbagai jenis literatur, menarik sebuah garis sentral dalam Alkitab sebagai sebuah konteks untuk mengumpulkan makna firman Allah.

Tujuan hermeneutika adalah untuk menangkap perasaan yang tulus dan penuh dari tiap bagian Alkitab. Studi hermeneutika mencakup hal-hal berikut:

  • Bahasa teks—membuat pengandaian pengenalan bahasa asli Alkitab dan memeriksa tata bahasa dan logikanya;
  • Konteks tulisan—hubungan sebuah bagian tertentu dengan ayat-ayat seputarnya dan konteks keseluruhan kitab tersebut;
  • Psikologi penulis dan konteks sejarah; dan
  • Butir-butir kebenaran yang dibicarakan bagian tertentu, contohnya, pembenaran, pengudusan, keselamatan, dan seterusnya, menurut makna dan perkembangannya yang penuh sepanjang Alkitab.


Oleh karena itu, berbagai studi kata Alkitab, kamus, dan catatan adalah berbagai alat yang digunakan dalam studi hermeneutika.

Kemudian, berdasarkan unsur teks, hermeneutika akan cenderung menjabarkan sebuah bagian bersama dengan berbagai maknanya: (1) literal, (2) moral, (3) majas, atau (4) perumpamaan (nubuatan).

Parallelisme, menafsirkan Alkitab dengan menjadikannya sarana kesatuan kitab, juga adalah prinsip hermeneutika lain yang berlaku.

Semua pendekatan untuk penerjemahan ini menjelaskan bahwa ada sebuah pandangan yang menopang teks Alkitab, yang berdiri terpisah dari berbagai bagian individual Alkitab, dan menyatukan pesan Alkitab. Inti dari berbagai prinsip ini yang diterapkan dalam pembacaan firman menyajikan kunci hermeneutika yang dengannya seseorang menafsirkan dan memahami Alkitab.

Kemajuan Penafsiran dalam Sejarah
Melalui 2000 tahun sejarah gereja, kita dapat melihat berbagai penafsiran yang membimbing pengenalan dan pengajaran berbagai guru Alkitab terpandang. Beberapa kunci penafsiran telah memajukan pemahaman kita akan Alkitab:
  • Hukum Taurat dan Injil: Martin Luther, lama disebut sebagai “bapak Reformasi,” mengaplikasikan pembedaan antara hukum Taurat dengan Injil sebagai prinsip pengatur dalam pengenalan dan pengajarannya akan seluruh Alkitab. Pada faktanya, Luther meringkas seluruh Perjanjian Lama sebagai hukum Taurat, mewakili permintaan Allah atas manusia dan mengungkapkan ketidakmampuan manusia untuk memenuhi permintaan-permintaan ini, dan Perjanjian Baru sebagai Injil, adalah sebuah kitab yang penuh dengan kabar gembira akan janji-janji Allah melalui Kristus, yang secara khusus adalah untuk membenarkan manusia oleh iman. Luther dengan jelas menyampaikan “tidak ada kitab dalam Alkitab yang tidak termasuk keduanya. Allah selalu menempatkan kedua sisi; hukum Taurat dan janji-Nya.” Luther mendorong yang lain untuk membaca Alkitab berdasarkan prinsip ini: “Oleh karena itu, peganglah pembedaan ini, dan tidak peduli kitab apa pun di depan Anda, apakah itu Perjanjian Lama atau Baru, bacalah dengan pembedaan [hukum Taurat dan Injil].”
  • Perjanjian: Teologi Reformasi, yang berdasar pada pengajaran Calvin, menafsirkan Alkitab berdasarkan dua perjanjian—perjanjian akan jerih lelah pekerjaan dan perjanjian anugerah, yang mendatangkan sebuah pandangan ekstrem akan penentuan Allah. Walaupun ada beberapa bagian yang kelihatannya mendukung teologi perjanjian Calvin, penafsiran khusus ini memerlukan penyeimbangan yang tepat dan pemahaman akan kekayaan kebenaran.
  • Pengudusan: penafsiran Alkitab John Wesley memperkenalkan pengajaran penyingkiran dosa melalui pengudusan yang sesaat dan bertahap. Oleh karena itu, manusia dibenarkan baik oleh iman dan dikuduskan juga oleh iman.
  • Pengaturan sezaman: John Nelson Darby, seorang pemimpin Kaum Saudara Plymouth, secara besar-besaran memajukan pemahaman pengaturan sezaman yang di dalamnya Allah berhubungan dengan manusia dalam berbagai cara menurut tujuan-Nya dalam zaman khusus tersebut. Kaum Saudara tahu mereka harus “berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Tim. 2:15) membelah Alkitab kepada berbagai zaman: zaman tanpa dosa, zaman hati nurani, zaman pemerintahan manusia, zaman janji, zaman hukum Taurat, zaman anugerah, dan zaman kerajaan.


Semua kunci penafsiran ini memiliki dasar Alkitab, dan di hampir semua bagiannya, memajukan pengenalan kita akan Alkitab. Kehadiran berbagai arahan penafsiran yang tepat secara bersamaan—juga penafsiran yang bertentangan lainnya—memberi tahu bahwa dasar sebuah penafsiran akan Alkitab dan kesehatannya secara logis tidaklah cukup dalam menyampaikan sebuah kunci hermeneutika yang sepenuhnya memuaskan. Sebuah penafsiran Alkitab, selagi secara umum diaplikasikan kepada seluruh teks, mungkin benar 100 persen, tapi cakupannya mungkin hanyalah 10 persen dari seluruh pewahyuan Alkitab.

Inilah yang mendorong kami untuk mencari kunci penafsiran akhir Alkitab, yang bukan hanya tidak melanggar berbagai kunci penafsiran sehat yang lainnya, melainkan juga yang sepenuhnya didukung oleh teks Alkitab dan mencakup seluruh pewahyuan Alkitab.

Misalnya, beberapa penafsiran Alkitab mungkin melihat Allah sebagai Allah yang adil-benar, sebagai Sang Pencipta, atau sebagai Bapa yang surgawi, tetapi tidak menyajikan penjelasan Allah yang adalah Tritunggal.

Lalu, apakah kunci utama untuk membuka makna keseluruhan dalam seluruh Alkitab? Kunci utama Alkitab adalah ekonomi Allah, yang merefleksikan Persona intrinsik Allah, yaitu Allah Tritunggal: Allah adalah tritunggal—Bapa, Putra, dan Roh—untuk menyalurkan diri-Nya sendiri ke dalam kita sebagai hayat, suplai hayat, dan segala kita untuk menghasilkan dan menyusun kita sebagai ekspresi korporat-Nya.

Pembicaraan Allah telah melalui perjalanan transmisi dan penerjemahan yang menakjubkan. Tidak hanya demikian, melalui langkah penafsiran, terutama melalui ditemukannya kunci utama Alkitab, umat manusia dapat memahami makna Alkitab. Ekonomi Allah adalah kunci utama ini, membukakan pemahaman kita, membuat kita melihat pewahyuan sentral seluruh Alkitab. Kita dapat melihat dalam keseluruhan Alkitab bahwa Allah Tritunggal—Bapa, Putra, dan Roh—menyalurkan diri-Nya ke dalam manusia. Melalui penyaluran ini, Allah mendapatkan tujuan-Nya untuk memiliki sebuah ekspresi diri-Nya melalui manusia hingga kekekalan.

Anda dapat memesan Alkitab Perjanjian Baru dengan Catatan Kaki Versi Pemulihan di sini.